Senin, 30 Juni 2014

Ringkasan Baru

RINGKASAN  BARU

NOVEL  LASKAR PELANGI

PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang didepan sebuah kelas. Ayahku duduk disampingku, memeluk pundakku dengan dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada setiap orang tua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret dibangku panjang lain didepan kami. Hari itu adalah hari pertama masuk SD.

Diujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka, dimana kosen pintu itu miring karena seluruh bangunan sekolah sudah mulai doyong seolah akan roboh. Dipintu tersebut berdiri dua orang guru, mereka adalah Bapak K.A. Harfan Efendy Noor (kepala sekolah) dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus.

          Namun, Bu Mus tersenyum getir karena tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali menghitung jumlah anak-anak yang duduk dibangku panjang. Sekolah Muhammadiyah tersebut terancam akan dibubarkan oleh Departemen pendidikan kabupaten Sumatra Selatan jika siswa baru tidak mencapai 10 orang anak. Ketika itu baru 9 anak yang menghadiri upacara pembukaan. Tahun lalu SD Muhammadiyah ini hanya mendapatkan sebelas siswa.

          “Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh orang tua yang telah pasrah. Suasana pun menjadi hening.

          Saat itu sudah pukul sebelas kurang lima dan Bu Mus semakin gundah.

          “Baru sembilan orang Pamanda Guru...,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi.

Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Akan tetapi tepat ketika Pak Harfan, sang kepala sekolah, hendak berpidato untuk menutup sekolah, ternyata ada seorang anak yang bernama Harun dan ibunya datang untuk mendaftarkan diri di sekolah kecil itu.

Pak Harfan tersenyum, beliau melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya.

“Genap sepuluh orang...” katanya

Jika tak ada Harun, seorang anak berusia 15 tahun dengan keterbelakangan mental, yang disekolahkan oleh ibunya agar tidak hanya mengejar anak ayam di rumah, tentu tidak pernah terjadi kisah ini.

IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembap, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk kami. Kemudian mengabsen kami. Semua telah masuk kedalam kelas dan mendapatkan teman sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi.

          “Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku.

          Oh, itulah rupanya namanya, Lintang ,sebuah nama yang aneh.

Lintang akan duduk disamping pria kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia mengayuh sepeda sejauh 80 km pulang pergi dari rumahnya ke sekolah untuk mencari ilmu di sekolah tersebut.

Kemudian kulihat ayah Lintang tersenyum getir saat melihat anaknya demikian bergairah untuk bersekolah. Ia membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out saat kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan biaya atau tuntutan nafkah. Dari empat garis generasi yang diingatnya, baru Lintang yang sekolah. Generasi kelima sebelumnya adalah masa Antediluvium , suatu masa lampau ketika orang-orang melayu masih berkelana sebagai nomad. 

Bu Mus mengelompokkan tempat duduk kami berdasarkan kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami sama-sama berambut ikal. Trapani duduk dengan Mahar karena mereka berdua paling tampan. Tapi Borek dan Kucai didudukan berdua bukan karena mereka mirip tapi karena sama-sama susah diatur. Sahara sengaja menumpahkan air minum A Kiong sehingga anak Hokian itu menangis sejadi-jadi nya. Ayah lintang membelikan ia pensil yang berbeda warna di kedua ujungnya dan buku bergaris 3.

Sekolah Muhammadiyah adalah sekolah yang sudah hampir rusak, mempunyai 6 kelas dan sangat berkekurangan. Kepala Sekolah K.A Harfan Efendy Noor bin K.A Fadillah Zein Noor adalah pria dengan kumis dan jenggot tebal yang berkharisma. Beliau sangat berpendidikan dan bijak serta berwawasan luas. Pak Harfan menceritakan banyak kisah kisah Islami kepada anak-anak dansegera menjadi favorit anak anak.

Ibu Mus memulai acara perkenalan di kelas, ketika A Kiong diminta untuk memperkenalkan nama, namun A Kiong yang maju hanya tersenyum. 

N.A Muslimah Hafsari Hamid binti K.A Abdul Hamid adalah satu-satunya guru di SD Muhammadiyah, beliau mengajar semua mata pelajaran di SD tanpa di bayar. Bu mus merupakan guru yang karismatik dan berpandangan luas serta mengajarkan budi pekerti kepada anak-anak.  Bagi anak-anak, Pak Harfan dan Bu mus adalah sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang sebenarnya bagaikan pohon filicium.

JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi. Ada orang Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya. Aichang, phok, kiaw, dan Khaknai,seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitif yang sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati dan pekerja keras.

Di Belitong terdapat Tembok Tinggi yang membagi wilayah Belitong,tembok itu membagi wilayah para Staff PN dengan wilayah buruh, wilayah staff di sebut gedong. Di Tanah milik mereka sendiri, rakyat harus hidup miskin di tanah yang kaya akan timah, malah Perusahaan yang mengelola menjadi kaya, bukti nyata aristrokrasi yang masih ada. Tanah Belitong kaya akan timah namun yang menikmati hasilnya hanya kaum yang tinggal di gedong, sedangkan para buruh tidak menikmati. Seperti pada masa penjajahan Belanda.

PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu tua. Orang staff  PN hidup makmur di dalam Gedong yang dibatasi oleh Tembok Tinggi, di dalam gedong orang orang hidup layaknya Raja dalam kemewahan,mencerminkan Feodalisme yang kuat.

 Buruh di larang masuk ke dalam Gedong, di dalam Gedong terdapat rumah bergaya Victorian dengan taman luas dan pemandangan yang indah. Di dalam Gedong hidup seorang anak wanita bernama Floriana atau Floyang merupakan anak seorang Mollen Bas, kepala kapal keruk, yang merupakan anak tomboy. Ketika pelajaran piano, Flo hanya menguap tanda bosan terhadap pelajarannya, ia tomboi di karenakan mempunyai saudara lelaki semua.

TAK disangsikan, jika di-zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi.

Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kotayang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi industri.

Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kanotr desa, pedagang, dan pensiunan.

Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecil kecilan, dan aparat penegak hukum. Sisanya berada di lapisan terendah.

SEKOLAH-SEKOLAH PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan Gedong. Sekolah PN merupakan center of excellence atau tempat bagi semua hal yang terbaik.

Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu yang sanggat tinggi. Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu saja yang orangtuanya sudah menjadi orang staf.

Setiap kelas bisa menampung hampir sebanyak 40 siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Selain sekolah miskin itu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara. Sementara sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri.

FILICIUM decipiens biasa ditanam botanikus untuk mengundang burung. Daunnya lebat tak kenal musim. Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil kami. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat.

Demikian harmonisnya ekosistem yang terpusat pada sebatang pohon filicium anggota familia Acacia ini. Seperti para guru yang mengabdi di bawahnya, pohon ini tak henti-hentinya menyokong kehidupan sekian banyak spesies. Pada musim hujan ia semakin semarak.

Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan maksudku mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi kami, sepuluh kawan sekelas ini, memang semuanya orang susah.

A Kiong merupakan pemuda Tionghoa yang lugu dan polos. Namun, meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara.

Kucai sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selian itu pandangan 39 matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Namun, Kucai adalah orang paling optimis yang pernah aku jumpai. Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya minder. Sebaliknya, ia memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut besar, banyak teori, dan sok tahu. Kelemahannya adalah nilai-nilai ulangannya tidak pernah melampaui angka enam karena ia termasuk murid yang agak kurang pintar, bodoh yang diperhalus.

DUDUK di pojok sana adalah Trapani. Si rapi jali ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita melalui sekali pandang. Ia tak bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Ia sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya. Sebaliknya, ia juga diperhatikan ibunya layaknya anak emas. Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat ketiga.

Lalu ada Sahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik grey cheeked green, atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung. Bapaknya seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan di PN. Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala batu. Maka tak ada yang berani bikin gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar. Kebalikan dari A Kiong, Sahara sangat skeptis, susah diyakinkan, dan tak mudah dibaut terkesan. Sifat lain Sahara yang amat menonjol adalah kejujurannya, Ia pantang berbohong. Musuh abadi Sahara adalah A Kiong.

Harun lelaki dengan penyakit autisme, tidak bisa menulis dan membaca mendapat perlakuan spesial di SD Muhammadiyah dan merupakan teman dekat sahara.

Borek, demikian terobsesi dengan body building dan tergila-gila dengan citra cowok macho. Pernah sekali Ia menempelkan belahan bola tenis untuk menyedot dada ikal agar berotot. Oleh ibu ikal itu disebut penyakit gila nomor 5. Menurut ibu ikal ,penyakit gila ada 44 nomor, semakin kecil angkanya, semakin gawat penyakitnya.

PAGI itu Lintang terlambat ke sekolah, karena dihadang oleh buaya  di tengah perjalanan menuju sekolah, saat itu Ia ditolong oleh Bodenga, seorang dukun buaya.Bodenga merupakan dukun buaya di Pualau Belitong, tak jelas asal usulnya, ayahnya telah meninggal karena mengumpankan dirinya kepada buaya. Lintang merupakan anak jenius yang dianugerahi kejeniusan lebih dalam berfikir dan menyerap ilmu , ia sangat suka belajar. 

KEBODOHAN berbentuk seperti asap, uap air, kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan pernah sekali pun berhenti.

Lintang, merupakan murid yang sangat jenius , rendah hati dan senang membagi ilmunya. Lintang menguasai mata pelajaran SMA ketika ia masih duduk di bangku SMP.

BAKAT: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan. Mahar mempunyai bakat dalam hal seni, ia menyanyikan lagu Tennesse Waltz  dengan ukulele yang membuat semua anak dan bu Mus kagum. Mahar adalah penyeimbang kejeniusan Lintang di kelas kami, Lintang dengan otak kirinya dan Mahar dengan otak kanannya. Lintang dan Mahar bergantian memukau kami dengan ajaran mereka. Mahar bercerita bahwa pelangi adalah lorong waktu, A Kiong yang mengagumi Mahar percaya dengan cerita tersebut, dan menurut Syahdan, Mahar adalah anak yang gila.

Kaum sawang hidup ditengah orang melayu dan dimarginalisasikan, mereka adalah pekerja terendah di PN Timah. Ketika hujan sudah semakin lebat mereka akan bermain hujan dan bermain diatas pelepah pinang yang ditarik oleh Akiong ,Tripani dan Samson.Hujan di Belitong tidak pernah sedikit, karena terletak pada wilayah hutan hujan, maka hujan disini selalu lebat. Begitulah cara anak-anak laskar pelangi menikmati musim hujan. 

Kemarau yang panjang membuat warga Tionghoa mandi pada siang hari, orang-orang suku sawang menjadi lelah, dan warga melayu semakin kumal. Mahar melihat burung pangkalan pulau, namun ketika kembali bersama teman-temannya burung itu sudah hilang, sehingga orang menganggapn ia berbohong. Karena mood yang jelek maka karya puisi Ikal mengungguli karya lukisan Mahar, sebab Mahar telat mengumpulkan karena mood yang sedang jelek.

Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik sepeda dan membuat perjanjian yang bersungguh-sungguh, bahwa saat berangkat ia akan memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuah kuburan Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Nanti pulangnya berlaku aturanan yang sama.

Toko Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah pusaran bau busuk. Ia berada di antara para pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan pasar ikan. Pembelian sekotak kapur adalah transaksi yang tak penting sehingga pembelinya harus menunggu sampai juragan toko selesai melayani sekelompok pria dan wanita yang menutup kepalanya dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna kuning, hijau, dan merah. Di sekujur tubuh wanita-wanita ini bertaburan perhiasan emas asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang sangat mencolok. Mereka tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang Melayu di sekelilingnya. Mereka hanya berbicara sesama mereka sendiri atau sedikit bicara dengan Bang Sad atau “bangsat”. Itulah panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu, tangan kanan A Miauw sang juragan Toko Sinar Harapan.

Maka dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa adalah pedagang yang efisien. Setelah menunggu sekian lama sampai hampir pingsan di dalam toko bau itu, A Miauw akan berteriak nyaring memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan terdengar teriakan jawaban dari seseorang, yang selalu kuduga seorang gadis kecil yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti kicauan burung murai batu.

Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil persegi empat seperti kandang burung merpati. Yang terlihat hanya sebuah tangan halus, sebelah kanan, yang sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan ini adlaah misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik dinding papan yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang dagangan di belakang. Sang misteri ini tidak pernah bicara sepatah kata pun padaku. Ia menjulurkan kotak kapur dengan tergesa-gesa dan menarik tangannya cepat-cepat seperti orang mengumpankan daging ke kandang macan.

Demikianlah berlangsung bertahun-tahun, prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah. Jika tangannya menjulur tak kulihat ada cincin di jari-jemarinya yang lentik, halus, panjang-panjang, dan ramping, namun siuk a, gelang giok indah berwarna hijau tampak berkarakter dan melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus.

Sekolah Muhamaddiyah mampu menjuarai lomba yang dipimpin oleh salah satu laskar pelangi serta mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas cermat pada lomba 17 Agustus mengalahkan sekolah-sekolah PN dan sekolah-sekolah negeri lainnya. Suatu prestasi yang sudah puluhan tahun selalu dimenangkan oleh sekolah-sekolah PN.

Seluruh anak Laskar Pelangi tak menduga ternyata ada seorang anak dari sekolah PN yang ingin sekolah di sekolah Muhamaddiyah itu. Dan sekarang anggota Laskar Pelangi menjadi sebelas orang, Laskar Pelangi mengarungi hari-hari dengan tertawa dan menangis bersama.

Ketika Lintang, siswa paling jenius itu harus berhenti sekolah padahal hanya tinggal satu tahun lagi menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua di keluarganya yang harus menghidupi keluarga sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia.

Padahal disisi lain PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan cara mengekploitasi tanah leluhurnya. Meskipun pada awal tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri akan tetapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para laskar pelangi.

Kedua guru tersebut akhirnya bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota laskar pelangi, sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini, ada yang mendapatkan bea siswa international kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris. Semua itu merupakan buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di ujung paling Selatan Sumatera.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar