RINGKASAN BARU
NOVEL LASKAR PELANGI
PAGI
itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang didepan sebuah kelas.
Ayahku duduk disampingku, memeluk pundakku dengan dengan kedua lengannya dan
tersenyum mengangguk-angguk pada setiap orang tua dan anak-anaknya yang duduk
berderet-deret dibangku panjang lain didepan kami. Hari itu adalah hari pertama
masuk SD.
Diujung
bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka, dimana kosen pintu itu
miring karena seluruh bangunan sekolah sudah mulai doyong seolah akan roboh.
Dipintu tersebut berdiri dua orang guru, mereka adalah Bapak K.A. Harfan Efendy
Noor (kepala sekolah) dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus.
Namun, Bu Mus tersenyum getir karena
tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah.
Ia berulang kali menghitung jumlah anak-anak yang duduk dibangku panjang. Sekolah
Muhammadiyah tersebut terancam akan dibubarkan oleh Departemen pendidikan
kabupaten Sumatra Selatan jika siswa baru tidak mencapai 10 orang anak. Ketika
itu baru 9 anak yang menghadiri upacara pembukaan. Tahun lalu SD Muhammadiyah
ini hanya mendapatkan sebelas siswa.
“Kita tunggu sampai pukul sebelas,”
kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh orang tua yang telah pasrah. Suasana
pun menjadi hening.
Saat itu sudah pukul sebelas kurang
lima dan Bu Mus semakin gundah.
“Baru sembilan orang Pamanda Guru...,”
ucap Bu Mus bergetar sekali lagi.
Akhirnya,
waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan jumlah murid tak juga
genap sepuluh. Akan tetapi tepat ketika Pak Harfan, sang kepala sekolah, hendak
berpidato untuk menutup sekolah, ternyata ada seorang anak yang bernama Harun
dan ibunya datang untuk mendaftarkan diri di sekolah kecil itu.
Pak
Harfan tersenyum, beliau melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya.
“Genap
sepuluh orang...” katanya
Jika
tak ada Harun, seorang anak berusia 15 tahun dengan keterbelakangan mental,
yang disekolahkan oleh ibunya agar tidak hanya mengejar anak ayam di rumah,
tentu tidak pernah terjadi kisah ini.
IBU
Muslimah yang beberapa menit lalu sembap, gelisah, dan coreng-moreng kini
menjelma menjadi sekuntum Crinum
giganteum. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk kami.
Kemudian mengabsen kami. Semua telah masuk kedalam kelas dan mendapatkan teman
sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil kotor berambut
keriting merah yang tak kukenal tadi.
“Anak Pak Cik akan sebangku dengan
Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku.
Oh, itulah rupanya namanya, Lintang ,sebuah nama yang aneh.
Lintang
akan duduk disamping pria kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia mengayuh sepeda
sejauh 80 km pulang pergi dari rumahnya ke sekolah untuk mencari ilmu di
sekolah tersebut.
Kemudian
kulihat ayah Lintang tersenyum getir saat melihat anaknya demikian bergairah
untuk bersekolah. Ia membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out saat kelas dua atau tiga SMP
nanti karena alasan biaya atau tuntutan nafkah. Dari empat garis generasi yang
diingatnya, baru Lintang yang sekolah. Generasi kelima sebelumnya adalah masa Antediluvium , suatu masa lampau ketika
orang-orang melayu masih berkelana sebagai nomad.
Bu
Mus mengelompokkan tempat duduk kami berdasarkan kemiripan. Aku dan Lintang
sebangku karena kami sama-sama berambut ikal. Trapani duduk dengan Mahar karena
mereka berdua paling tampan. Tapi Borek dan Kucai didudukan berdua bukan karena
mereka mirip tapi karena sama-sama susah diatur. Sahara sengaja menumpahkan air
minum A Kiong sehingga anak Hokian itu menangis sejadi-jadi nya. Ayah lintang
membelikan ia pensil yang berbeda warna di kedua ujungnya dan buku
bergaris 3.
Sekolah
Muhammadiyah adalah sekolah yang sudah hampir rusak, mempunyai 6 kelas
dan sangat berkekurangan. Kepala Sekolah K.A Harfan Efendy Noor bin
K.A Fadillah Zein Noor adalah pria dengan kumis dan jenggot tebal yang
berkharisma. Beliau sangat berpendidikan dan bijak serta berwawasan
luas. Pak Harfan menceritakan banyak kisah kisah Islami kepada
anak-anak dansegera menjadi favorit anak anak.
Ibu
Mus memulai acara perkenalan di kelas, ketika A Kiong diminta untuk
memperkenalkan nama, namun A Kiong yang maju hanya tersenyum.
N.A
Muslimah Hafsari Hamid binti K.A Abdul Hamid adalah satu-satunya guru di SD
Muhammadiyah, beliau mengajar semua mata pelajaran di SD tanpa di bayar.
Bu mus merupakan guru yang karismatik dan berpandangan luas serta mengajarkan
budi pekerti kepada anak-anak. Bagi
anak-anak, Pak Harfan dan Bu mus adalah sosok pahlawan tanpa tanda jasa
yang sebenarnya bagaikan pohon filicium.
JUMLAH
orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi. Ada orang
Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya. Aichang, phok, kiaw, dan Khaknai,seluruhnya
adalah perangkat penambangan timah primitif yang sekarang dianggap temuan
arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali berada di Pulau
Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati dan pekerja keras.
Di
Belitong terdapat Tembok Tinggi yang membagi wilayah Belitong,tembok itu
membagi wilayah para Staff PN dengan wilayah buruh, wilayah staff di
sebut gedong. Di Tanah milik mereka sendiri, rakyat harus hidup
miskin di tanah yang kaya akan timah, malah Perusahaan yang mengelola
menjadi kaya, bukti nyata aristrokrasi yang masih ada. Tanah Belitong kaya akan
timah namun yang menikmati hasilnya hanya kaum yang tinggal di gedong,
sedangkan para buruh tidak menikmati. Seperti pada masa penjajahan Belanda.
PULAU
Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatra yang membujur
dan di sana mengalir kebudayaan Melayu tua. Orang
staff PN hidup makmur di dalam
Gedong yang dibatasi oleh Tembok Tinggi, di dalam gedong orang orang hidup
layaknya Raja dalam kemewahan,mencerminkan Feodalisme yang kuat.
Buruh di larang masuk ke dalam Gedong, di
dalam Gedong terdapat rumah bergaya Victorian dengan taman luas dan pemandangan
yang indah. Di dalam Gedong hidup seorang anak wanita bernama Floriana
atau Floyang merupakan anak seorang Mollen Bas, kepala kapal keruk, yang
merupakan anak tomboy. Ketika pelajaran piano, Flo hanya menguap tanda
bosan terhadap pelajarannya, ia tomboi di karenakan mempunyai saudara
lelaki semua.
TAK
disangsikan, jika di-zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya
di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga
segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi.
Hanya
beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti
langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika
diumpamakan kotayang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan
revolusi industri.
Umumnya
tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas, penjaga
toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kanotr desa, pedagang, dan
pensiunan.
Kekuatan
ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang
mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Kelas menengah tak ada, oh atau
mungkin juga ada, yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat
publik yang korupsi kecil kecilan, dan aparat penegak hukum. Sisanya berada di
lapisan terendah.
SEKOLAH-SEKOLAH
PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan Gedong.
Sekolah PN merupakan center of excellence atau tempat bagi semua hal yang
terbaik.
Di
dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu
yang sanggat tinggi. Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang
bapaknya menjadi petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti
Bang Amran, tapi tentu saja yang orangtuanya sudah menjadi orang staf.
Setiap
kelas bisa menampung hampir sebanyak 40 siswa dan paling tidak ada 4 kelas
untuk setiap tingkat. Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah
perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong.
Selain sekolah miskin itu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di
kampung kami. Namun kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka
disokong oleh negara. Sementara sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang
kelelahan menyokong dirinya sendiri.
FILICIUM
decipiens biasa ditanam botanikus untuk mengundang burung. Daunnya lebat tak
kenal musim. Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama
masa kecil kami. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia persahabatan
dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat.
Demikian
harmonisnya ekosistem yang terpusat pada sebatang pohon filicium anggota
familia Acacia ini. Seperti para guru yang mengabdi di bawahnya, pohon ini tak
henti-hentinya menyokong kehidupan sekian banyak spesies. Pada musim hujan ia
semakin semarak.
Seperti
Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan maksudku
mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi kami, sepuluh kawan sekelas
ini, memang semuanya orang susah.
A
Kiong merupakan pemuda Tionghoa yang lugu dan polos. Namun, meskipun wajahnya
horor, hatinya baik luar biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali
pada Sahara.
Kucai
sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan
ia menderita miopia alias rabun jauh. Selian itu pandangan 39 matanya tidak
fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Namun, Kucai adalah orang paling optimis
yang pernah aku jumpai. Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya
minder. Sebaliknya, ia memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut besar,
banyak teori, dan sok tahu. Kelemahannya adalah nilai-nilai ulangannya tidak
pernah melampaui angka enam karena ia termasuk murid yang agak kurang pintar,
bodoh yang diperhalus.
DUDUK
di pojok sana adalah Trapani. Si rapi jali ini adalah maskot
kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah seindah rembulan. Ia tipe pria yang
langsung disukai wanita melalui sekali pandang. Ia tak bicara jika tak perlu
dan jika angkat bicara ia akan menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik.
Ia sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya. Sebaliknya, ia juga diperhatikan
ibunya layaknya anak emas. Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan
selalu menduduki peringkat ketiga.
Lalu
ada Sahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik grey cheeked green,
atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung.
Bapaknya seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan
di PN. Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala batu. Maka tak ada yang berani
bikin gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar. Kebalikan dari A
Kiong, Sahara sangat skeptis, susah diyakinkan, dan tak mudah dibaut
terkesan. Sifat lain Sahara yang amat menonjol adalah kejujurannya,
Ia pantang berbohong. Musuh abadi Sahara adalah A Kiong.
Harun
lelaki dengan penyakit autisme, tidak bisa menulis dan membaca mendapat
perlakuan spesial di SD Muhammadiyah dan merupakan teman dekat sahara.
Borek,
demikian terobsesi dengan body building dan tergila-gila dengan citra cowok
macho. Pernah sekali Ia menempelkan belahan bola tenis untuk menyedot dada ikal
agar berotot. Oleh ibu ikal itu disebut penyakit gila nomor 5. Menurut ibu ikal
,penyakit gila ada 44 nomor, semakin kecil angkanya, semakin gawat penyakitnya.
PAGI
itu Lintang terlambat ke sekolah, karena dihadang oleh buaya di tengah perjalanan menuju sekolah, saat itu
Ia ditolong oleh Bodenga, seorang dukun buaya.Bodenga
merupakan dukun buaya di Pualau Belitong, tak jelas asal usulnya, ayahnya telah
meninggal karena mengumpankan dirinya kepada buaya. Lintang
merupakan anak jenius yang dianugerahi kejeniusan lebih dalam berfikir dan
menyerap ilmu , ia sangat suka belajar.
KEBODOHAN
berbentuk seperti asap, uap air, kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari sebuah
tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka
berangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan menggunakan
tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan pernah
sekali pun berhenti.
Lintang,
merupakan murid yang sangat jenius , rendah hati dan senang membagi ilmunya.
Lintang menguasai mata pelajaran SMA ketika ia masih duduk di bangku SMP.
BAKAT:
misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya, tapi dalam banyak
kejadian ia harus ditemukan. Mahar
mempunyai bakat dalam hal seni, ia menyanyikan lagu Tennesse Waltz dengan ukulele yang membuat semua anak dan bu
Mus kagum. Mahar
adalah penyeimbang kejeniusan Lintang di kelas kami, Lintang dengan otak
kirinya dan Mahar dengan otak kanannya. Lintang dan Mahar bergantian memukau
kami dengan ajaran mereka. Mahar
bercerita bahwa pelangi adalah lorong waktu, A Kiong yang mengagumi Mahar
percaya dengan cerita tersebut, dan menurut Syahdan, Mahar adalah anak yang
gila.
Kaum
sawang hidup ditengah orang melayu dan dimarginalisasikan, mereka adalah
pekerja terendah di PN Timah. Ketika
hujan sudah semakin lebat mereka akan bermain hujan dan bermain diatas pelepah
pinang yang ditarik oleh Akiong ,Tripani dan Samson.Hujan di Belitong tidak
pernah sedikit, karena terletak pada wilayah hutan hujan, maka hujan disini
selalu lebat. Begitulah cara anak-anak laskar pelangi menikmati musim hujan.
Kemarau
yang panjang membuat warga Tionghoa mandi pada siang hari, orang-orang suku
sawang menjadi lelah, dan warga melayu semakin kumal. Mahar
melihat burung pangkalan pulau, namun ketika kembali bersama teman-temannya
burung itu sudah hilang, sehingga orang menganggapn ia berbohong. Karena mood
yang jelek maka karya puisi Ikal mengungguli karya lukisan Mahar, sebab Mahar
telat mengumpulkan karena mood yang sedang jelek.
Pagi
itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik sepeda dan
membuat perjanjian yang bersungguh-sungguh, bahwa saat berangkat ia akan
memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuah kuburan
Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Nanti
pulangnya berlaku aturanan yang sama.
Toko
Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah pusaran bau busuk. Ia berada
di antara para pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan
pasar ikan. Pembelian sekotak kapur adalah transaksi yang tak penting sehingga pembelinya
harus menunggu sampai juragan toko selesai melayani sekelompok pria dan wanita
yang menutup kepalanya dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna
kuning, hijau, dan merah. Di sekujur tubuh wanita-wanita ini bertaburan
perhiasan emas asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang sangat mencolok. Mereka
tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang Melayu di sekelilingnya.
Mereka hanya berbicara sesama mereka sendiri atau sedikit bicara dengan Bang
Sad atau “bangsat”. Itulah panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu, tangan
kanan A Miauw sang juragan Toko Sinar Harapan.
Maka
dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa adalah pedagang yang efisien. Setelah
menunggu sekian lama sampai hampir pingsan di dalam toko bau itu, A Miauw akan
berteriak nyaring memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari
ruang belakang akan terdengar teriakan jawaban dari seseorang, yang selalu
kuduga seorang gadis kecil yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat
seperti kicauan burung murai batu.
Kotak
kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil persegi empat seperti kandang
burung merpati. Yang terlihat hanya sebuah tangan halus, sebelah kanan, yang
sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik
tangan ini adlaah misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik
dinding papan yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang dagangan
di belakang. Sang misteri ini tidak pernah bicara sepatah kata pun padaku. Ia
menjulurkan kotak kapur dengan tergesa-gesa dan menarik tangannya cepat-cepat
seperti orang mengumpankan daging ke kandang macan.
Demikianlah
berlangsung bertahun-tahun, prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah. Jika
tangannya menjulur tak kulihat ada cincin di jari-jemarinya yang lentik, halus,
panjang-panjang, dan ramping, namun siuk a, gelang giok indah berwarna hijau
tampak berkarakter dan melingkar garang pada pergelangan tangannya yang
ditumbuhi bulu-bulu halus.
Sekolah
Muhamaddiyah mampu menjuarai lomba yang dipimpin oleh salah satu laskar pelangi
serta mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang
anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai lomba
cerdas cermat pada lomba 17 Agustus mengalahkan sekolah-sekolah PN dan
sekolah-sekolah negeri lainnya. Suatu prestasi yang sudah puluhan tahun selalu
dimenangkan oleh sekolah-sekolah PN.
Seluruh
anak Laskar Pelangi tak menduga ternyata ada seorang anak dari sekolah PN yang
ingin sekolah di sekolah Muhamaddiyah itu. Dan sekarang anggota Laskar
Pelangi menjadi sebelas orang, Laskar Pelangi mengarungi hari-hari
dengan tertawa dan menangis bersama.
Ketika
Lintang, siswa paling jenius itu harus berhenti sekolah padahal hanya tinggal
satu tahun lagi menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki
tertua di keluarganya yang harus menghidupi keluarga sebab ketika itu ayahnya
meninggal dunia.
Padahal
disisi lain PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan cara mengekploitasi tanah
leluhurnya. Meskipun pada awal tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya
ditutup karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri akan tetapi
semangat, integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan
dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para laskar pelangi.
Kedua
guru tersebut akhirnya bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota
laskar pelangi, sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi
research and development manager di salah satu perusahaan multi nasional paling
penting di negeri ini, ada yang mendapatkan bea siswa international kemudian
melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan
predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris. Semua
itu merupakan buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang
ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan
belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di ujung paling Selatan Sumatera.