MORALITAS KORUPTOR
ABSTRAK
Indah Restu
Anjani, 13211571
MORALITAS
KORUPTOR
Makalah. Jurusan
Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014
Kata kunci
: Moralitas Koruptor
Penulisan
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana korupsi semakin marak terjadi saat ini.
Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ini makin marak dilakukan oleh rakyat
Indonesia, yang mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi Negara. Dijaman
ini kebutuhan semakin langkanya juga persaingan yang ketat membuat beberapa
orang sulit mendapatkan ekonomi yang mapan dan sejahtera. Banyaknya jumlah
penduduk makin hari ditambah lapangan kerja yang kurang banyak juga gaji yang
rendah menimbulkan potensi sesrang mengambil jalan pintas dangan cara yang
haram seperti korupsi.
Dengan
desakan ekonomi juga dalam pemenuhan kebutuhan yang tanpa batas membuat orang
orang cenderung terus mengadaptasi kekuasaan dan melakukan korupsi. Didasari
dari cara korupsi yang sudah tak lagi awam dan tabu maka banyak masyarakat
melakukan ini meskipun sudah dijerat dengan hukuman yang berata tapi sampai
sekarang masih belum memberikan efek jera yang paling akhir.
BAB I
PENDAHULUAN
Korupsi
berlangsung dalam suatu relasi kuasa untuk kepentingan ekonomi-politik,
memobilisasi sumber daya ekonomi guna memperebutkan posisi dan kekuasaan
politik.
Selama ini, diskusi publik yang membahas mengenai masalah korupsi lebih menggunakan pendekatan hukum. Karena itu,korupsi semata-mata dilihat sebagai tindakan kejahatan luar biasa, sehingga cara penanganannya pun berpijak pada perspektif legalistik.
Selama ini, diskusi publik yang membahas mengenai masalah korupsi lebih menggunakan pendekatan hukum. Karena itu,korupsi semata-mata dilihat sebagai tindakan kejahatan luar biasa, sehingga cara penanganannya pun berpijak pada perspektif legalistik.
Ilmu antropologi menawarkan perspektif lain dalam mengkaji dan menganalisis masalah korupsi, yang selama ini luput dari observasi para ahli hukum, pengamat sosial, dan aktivis antikorupsi.
Mereka melihat praktik korupsi dengan mendasarkan pada prosecutorial approach and legal sanction semata. Korupsi mengakar sangat kuat dalam struktur kekuasaan negara dan mengalami pelembagaan di dalam birokrasi pemerintahan dan badan-badan politik negara.
Hal ini terjadi karena praktik korupsi mengandung suatu nilai yang sangat fundamental: moral ekonomi. Moral ekonomi adalah konsep klasik yang menjadi tema kajian akademis dalam ilmu antropologi ekonomi dan sosiologi ekonomi.
Moral
ekonomi merujuk pada suatu tradisi kuno yang dianut oleh dan berlaku di dalam
masyarakat prakapitalis. Pada masyarakat prakapitalis, kegiatan ekonomi
berlangsung dalam suatu komunitas kecil dan terbatas, yang ditopang oleh
jaringan sosial yang sangat kuat dan hubungan personal yang hangat.
Indonesia
adalah salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi bisa dilakukan melalui
berbagai jalur, ada yang melalui pinjaman dari Negara asing, sehingga semakin
besar pinjaman asing semakin besar dana yang disalahgunakan, melalui perjalanan
dinas, melalui pengadaan barang, pungutan pajak, pungutan liar, bahkan sampai
dana untuk orang miskin dan bencana alam. Korupsi benar-benar merupakan
perbuatan yang menghancurkan generasi muda dan memiskinkan rakyat Indonesia.
Kasus
korupsi di Indonesia yang sudah terjadi selama puluhan tahun berhasil diungkap
satu per satu saat reformasi digulirkan pada 1998. Peristiwa 1998 ini pun
dianggap sebagai peristiwa bersejarah, bahkan mampu menyebabkan hilangnya
beberapa nyawa. Kasus korupsi yang terbongkar dimulai dengan tuduhan korupsi
yang dilakukan pemimpin rezim Orde Baru, lalu beberapa kasus korupsi pejabat
lain.
Tindak
korupsi yang ada di Indonesia saat ini sudah meluas dalam masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis oleh pejabat Negara.
Rumusan Masalah
Dalam
penyusunan ini penulis membatasi menjadi beberapa sub pokok bahasan meliputi :
1. Mengapa
korupsi semakin marak di Indonesia dan mengapa hal tersebut bisa terjadi?
2. Mengapa
korupsi sulit diberantas dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan
bisnis?
3. Siapa
yang bertanggung jawab akan adanya korupsi di Indonesia ?
Batasan Masalah
Dalam
penulisan ini penulis membatasi masalah pada moralitas korupsi.
Maksud dan Tujuan
Adapun
tujuan penulis untuk memenuhi tugas softskill mata kuliah Etika Bisnis dalam
membuat jurnal atau tulisan tentang Moralitas Koruptor apa saja. Maksud dari
penulisan ini adalah :
1. Untuk
mengetahui penyebab terjadinya korupsi di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui jenis-jenis korupsi dan menghilangkan terjadinya korupsi di
Indonesia.
3. Dapat
memberikan gambaran/kriteria dalam pengambilan keputusan/solusi kasus korupsi.
BAB II
LANDASAN TEORI
Moral adalah
kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi
label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas
dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
Korupsi adalah
penyakit bangsa dan secara tegas pula merupakan penyakit moral! Moral yang
mana? Kedua-duanya: moralitas obyektif dan sekaligus subyektif. Pemberantasan
korupsi dengan demikian juga memasuki kedua ranah tersebut. Korupsi bisa
diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum yang
amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran
budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).
Di satu sisi, penegakan moralitas obyektif adalah soal penegakan aturan main dalam hidup bernegara, ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap para koruptor, dan pembenahan sistem peradilan yang semakin adil. Di sisi lain, penegakkan moralitas subyektif adalah soal pembenahan mentalitas aparatur negara, pembenahan hidup kemanusiaan sebagai mahkluk yang berakal budi, dan penajaman hati nurani.
Secara
umum perbuatan korupsi adalah suatu perbuatan yang melanggar norma-norma
kehidupan bermasyarakat dimana dampak yang ditimbulkan sangat merugikan
masyarakat dalam arti luas dan bila dibiarkan secara terus menerus, maka akan
merugikan keuangan negara/perekonomian negara yang mengakibatkan negara
tersebut gagal didalam mencapai tujuan pembangunannya, yaitu menciptakan suatu
masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Korupsi
merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa latin yaitucorruption yang
berarti buruk atau rusak atau memutar balik atau menyogok.
Menurut
Transparancy Indonesia korupsi diartikan sebagai perilaku pejabat publik, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dalam
ensikopledia Indonesia disebut ”korupsi” (dari bahasa latin: corruption yang
berarti penyuapan; corruptore berarti merusak) gejala dimana para pejabat,
badan – badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan
serta ketidakberesan lainnya.
Menurut
Brasz (1963. dalam Lubis,1985) menyatakan bahwa korupsi merupakan penggunaan
yang korup dari derived power atau sebagai penggunaan secara
diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan
itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan – tujuan
kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan
kekuasaan itu dengan syah.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur –
unsur sebagai berikut: Perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan,
kesempatan, atau sarana memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
yang merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Korupsi
secara historis merupakan konsep dan prilaku menyimpang secara hukum, ketika
secara sosial polotik telah terjadi pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan publik, namun pada masa kekuasaan dikaitkan dengan hereditas dan
pelimpahan wewenang dari yang maha kuasa (kekuatan supranatural) dan atau
karena kepahlawanan (knight) yang diikuti dengan perasaan berhak atas
keistimewaan (dengan dukungan diam-diam dari rakyat) maka terdapat kecenderungan
untuk melihat bahwa pemanfaatan berbagai sumberdaya finansial dan non finasial
untuk kepentingan penguasa atau Knight sebagai hal yang wajar meskipun at
the expense of the people, karena keluarbiasaan historis dan kekuasaannya
yang bukan berasal dari rakyat.
Menurut
Black’s Law Dictionary korupsi adalah nyang mempunyai arti bahwa suatu
perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa
keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran – kebenaran
lainnya "sesuatu perbuatan dari suatu yang resmi atau kepercayaan
seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas
dan kebenaran – kebenaran lainnya.
Menurut
Syeh Hussein Alatas menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas
korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan
pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum,
dibarengi dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar
biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat.
Menurut
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara.
Dari
segi semantik, "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitucorrupt,yang
berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitucomyang berarti
bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah
"korupsi" juga bisa dinyatakan sebagaisuatu perbuatan tidak jujur
atau penyelewengan yang dilakukan karenaadanya suatu pemberian.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang
negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi maupun orang
lain.
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau
pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda,
dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk
memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan,
dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk
memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan Metode
pengumpulan data berupa studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan data dari
beberapa buku, referensi di internet dan jurnal yang mengkaji topik sejenis
untuk mendukung penulisan mengenai moralitas koruptor. Selain itu penulis juga
mencari data melalui media elektronik dengan menonton acara berita yang secara
tidak sengaja membahas tentang moralitas koruptor.
BAB IV
PEMBAHASAN
Mengapa semakin marak korupsi yang
ada di Indonesia dan mengapa bisa terjadi?
Indonesia
memang dikenal sebagai juaranya korupsi di dunia. Sudah bertahun-tahun
Indonesia berperingkat terbawah sebagai negara terkorup di dunia dan seakan tak
ada prospek beranjak dari keburukan ini. Terakhir, Transparency International
Indonesia merilis peringkat indeks korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2009
berada pada posisi 111. Ini memang sangat memiriskan. Bangsa yang besar ini
dipandang sangat ‘kotor’ akibat korupsinya yang merajalela. Ibu Pertiwi pasti
menangis jika melihat anak bangsa saat ini sebagai juara korupsi.
Lantas,
banyak orang berpikir bahwa korupsi yang sudah sedemikian parah ini dihubungkan
dengan masalah moral. Akar permasalahan utama korupsi di Indonesia adalah
moralitas bangsa yang bobrok, korup dan ambruk. Benarkah demikian? Pantaslah
kita untuk mendiskusikannya agar kita tidak serta merta memercayaistatement bahwa
parahnya korupsi di Indonesia ini akibat moral bangsa yang buruk. Kita tidak
boleh luruh hanya mengkambinghitamkan masalah moral sebagai penyebab suburnya
korupsi di indonesia.
Sayangnya,
begitu banyak terdengar upaya kampanye sederhana (soft campaigne), baik
pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-toko agama tentang seruan
serta imbauan kepada masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai
moral yang selama ini dianggap biang terjadinya korupsi di Indonesia. Media
yang digunakan beragam, mulai dari iklan TV, Koran, Majalah, Tabloid hingga
pamflet dan selebaran, yang intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa,
“jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita,
sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”.
Upaya
tersebut tidaklah salah, tetapi sangat berpotensi keliru memandang persoalan
secara objektif dan komprehensif. Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat
adalah bisa saja upaya kampanye anti korupsi yang terus menerus menyudutkan
masalah moral sebagai biang keladi menjamurnya korupsi, hanya dijadikan sebagai
upaya “cuci tangan” dan “pengalihan isu” dari para pejabat korup. Kita perlu
memandang masalah moralitas ini sangat rawan untuk dipermainkan oleh
pihak-pihak yang sebenarnya terlibat dalam korupsi. Bisa saja isu moralitas ini
hanya sebagai upaya lempar batu sembunyi tangan.
Memandang
korupsi sebagai masalah moral ini juga bisa menciptakan ketidakmampuan menguraikan
jenis-jenis korupsi secara detail dan kegagalan menciptakan solusinya. Ada
resistensi yang timbul karena rasa pesimistis berlebihan sebagai akibat
kegagalan menguraikan kerumitan benang-benang korupsi. Ini karena masalah moral
begitu luas dan cara penanganannya juga sangat luas. Jadi, tidak sekedar
menangani penyebab dari satu aspek saja, lalu lantas masalah moral selesai dan
korupsi pun punah.
Lantas,
orang berpikir karena masalah moral maka yang harus dibenahi moral bangsa
adalah lewat pendidikan yang bermoral. Ini jelas terlalu luas dan tidak
langsung mengenai sasaran karena pendidikan lebih condong pada pembentukan
karakter dasar. Dan, seringkali karakter itu takluk pada determinan lingkungan
yang lebih mencerminkan kondisi yang sesuai pada realitas kekinian. Lingkungan
mampu menciptakan pengaruh yang menjadikan orang yang dibentuk pendidikan larut
dalam hegemoni lingkungan.
Menangani
korupsi lewat pendidikan memang perlu, tetapi ini hanya pada proses penciptaan
fundamental saja. Pendidikan yang menciptakan moralitas utama lebih disepakati
sebagai upaya penanaman pondasi moral bahwa korupsi itu adalah tindakan laknat
yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Sekaligus pendidikan moral ada
untuk membangun benteng moral agar tidak terjebol oleh serangan biadab korupsi
implisit maupun eksplisit. Namun demikian, moralitas yang dibentuk pendidikan
tidak bisa digunakan sebagai tameng secara terus menerus untuk menghadang
korupsi.
Masalah Sistem
Kita
pasti hangat dengan ucapan Bang Napi dalam sebuah acara kriminal di salah satu
stasiun televisi bahwa “Kejahatan tidak hanya terjadi karena dari niat
pelakunya, tetapi karena adanya kesempatan”. Kalau diuraikan, dari pernyataan
di atas asal korupsi adalah karena niat dan atau kesempatan. Secara sederhana, jika
beracuan pada niat berarti yang menyebabkan korupsi adalah buruknya moralitas
pelakunya. Sedangkan, jika merujuk pada kesempatan maka yang menciptakan
korupsi adalah lingkungannya.
Untuk
masalah moralitas sudah dijelaskan secara spesifik pada paragraf-paragraf
sebelumnya. Adapun untuk keadaan lingkungan akan diterangkan saat ini dan
seterusnya. Sejatinya, lingkungan memang sangat berkaitan dengan adanya sistem
yang melingkupinya. Jikalau sistem yang ada itu buruk maka akan memungkinkan
mencuat lingkungan yang buruk pula. Begitu pula, sebaliknya. Ada hubungan
searah antara sistem dengan lingkungan.
Ketika
kita mencermati kasus korupsi yang marak akhir-akhir ini, bisa dilihat bahwa
sistem yang ada di birokrasi pemerintahan ‘kebobolan’ telak. Sistem mampu
dikibuli oleh aparat-aparat yang ada di dalamnya maupun pihak-pihak luar yang
ingin ‘mempermainkan’ sistem.
Contoh
yang paling kentara adalah kasus mafia pajak. Betapa sistem hukum perpajakan di
Indonesia memberikan peluang bagi aparat pajak, kejaksaan, polisi untuk
melakukan tindakan korup. Dari Gayus sendiri, jumlah dana yang terkorupsi
adalah 28 miliar. Padahal, ‘Gayus-gayus” lain masih banyak yang berkeliaran dan
menciptakan kerugian negara bertriliun-triliun rupiah. Entah dari jumlah yang
dikorupsi ataupun dari nominal kasus yang dimenangkan pelanggar hukum.
Disadari
atau tidak, Gayus-gayus ini bisa muncul bak jamur di musim hujan dikarenakan
sistem memungkinkan untuk demikian. Banyak celah sistem yang mudah dimanfaatkan
untuk bertindak korup. Sistem yang buruk ini lalu menciptakan lingkungan yang
buruk. Jadinya, karena banyaknya pelaku-pelaku korup itu, lingkungan birokrasi
pun ‘mendukung’ keburukan itu. Mungkin sampai ada anggapan bahwa “kalau tidak
korupsi, maka susah untuk cepat kaya atau naik pangkat” di pemerintahan.
Anggapan ini pun menjadi aksioma banyak orang untuk melakukan korupsi.
Kalau
kita mendalami masalah sistem ini, praktik korupsi bukan sekedar pada tingkat
pelaksanaan saja. Kita harus melihat dari perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan sistem, sebagaimana kerangka sederhana dari sistem itu sendiri.
Kalau dari perencanaan, kita bisa melihat salah satunya dari peraturan
perundang-undangan. Undang-undang dan peraturan pemerintah apakah bisa menjadi
alat untuk mengembangbiakkan korupsi. Jika iya, berarti dari tahap perencanaan
terhadap sebuah sistem saja sudah menabur benih tumbuhnya pohon korupsi.
Kalau
dalam tahap pelaksanaan sistem, jelas apa yang terjadi kebanyakan saat ini
tentang kasus korupsi adalah karena pelaksanaan sistem yang kacau balau. Sistem
sangat lemah sehingga memungkinkan koruptor bisa memanfaatkannya. Belum lagi,
tumpang tindihnya sistem yang satu dengan yang lain. Tumpang tindih ini pun
bisa sebagai ruang nyaman bagi koruptor untuk beraksi.
Dalam
hal pengawasan sistem, ini juga merupakan bagian vital atas suburnya korupsi.
Pengawasan yang lemah atas sistem jelas melonggarkan ruang bagi sosok seperti
Gayus untuk mengotak-atik sistem sehingga bisa berkelindan dengan para
pengemplang pajak. Para aparat hukum, karena tidak adanya pengawasan yang kuat,
menjadikan mereka bisa mempermainkan aturan hukum yang seharusnya menjerat
koruptor.
Indonesia
bisa terus menjadi juara korupsi, karena sistem-sistem buruk dan lemah yang ada
terus-menerus distatus quo-kan. Reformasi birokrasi memang sudah jalan, tetapi
itu belum masuk ke tataran mindset birokrat. Apa gunanya sistem yang bagus,
tetapi tidak diresapi oleh para obyeknya? Inilah mengapa sistem saat ini tidak
berjalan dengan bagus, baik dari perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan. Jika
Indonesia ingin keluar dari lingkaran korupsi yang mematikan, pembenahan sistem
secara komprehensif perlu dilakukan. Dan, sistem itu pun kemudian harus
dijunjung tinggi oleh semua obyeknya sampai ter-mindset-kan.
Permasalahan
Praktik Korupsi di Indonesia yang semakin meningkat, baik secara kuantitaif
maupun kualitatif. Modus operasinya pun makin canggih. Pelakunya juga beragam,
latar belakang profesi, usia, dan pendidikan. Yang lebih maraknya yaitu yang
dilakukan oleh pejabat Negara DPR Indonesia sekarang ini. Korupsi masih
merupakan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi, penghambat kecerdasan anak
bangsa, dan kemajuan bangsa. Namun sampai saat ini belum ada langkah yang tepat
untuk menangani kasus korupsi tersebut.
Maraknya
korupsi di Indonesia seakan sulit untuk diberantas dan telah menjadi budaya.
Pada dasarnya, korupsi adalah suatu pelanggaran hukum yang kini telah menjadi
suatu kebiasaan. Berdasarkan data Transparency International Indonesia, kasus
korupsi di Indonesia belum teratasi dengan baik. Indonesia menempati peringkat
ke-100 dari 183 negara pada tahun 2011 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Di era
demokrasi, korupsi akan mempersulit pencapaian good governance dan pembangunan
ekonomi. Terlebih yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Perilaku
korup di masyarakat Indonesia sangat sulit diberantas. Mesti sudah ada paying
hokum yang memberantas perilaku negative yang sangat merugikan masyarakat ini.
Indonesia Corruption Wath (ICW) menyatakan salah satu kegagalan menangani
korupsi karena aturan yang ada tak lengkap. Karena itu pemerintah harus
mencabut Undang – undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Tahun
2006 karena tidak sesuai dengan ketentuan United Nations Convention Againts
Corruption (UNCAC).
Menurut
peneliti ICW Tama S Langkun, UNCAC telah menghasilkan beberapa prinsip penting
yang harus dilaksanakan para pesertanya. Antara lain menerapkan peraturan
nasional mendasar tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan
memelihara efektifitas dan mengkoordinasikan kebijakan anti korupsi yang
melibatkan partisipasi masyarakat.
Tama
menuturkan ada empat isu utama yang berkaitan dengan penguatan sanksi pidana
atas tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut :
1. Pertama,
unsur merugikan keuangan Negara yang terdapat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun
1999 juga UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, justru
mengatasi upaya pemberantasan korupsi.
2. Kedua,
pemberian sanksi atas beberapa tindakan pidana korupsi perlu diatur kembali
karena perbedaan sanksi penjara yang cukup jauh antara satu tindak pidana
dengan tindak pidana lainnya.
3. Ketiga,
perlu ada pengaturan khusus tentang suap kepada pegawai public asing, pegawai
organisasi internasional, maupun swasta, memperdagangkan pengaruh serta
peningkatan harta kekayaan secara mencurigakan.
4. Keempat,
bentuk suap yang tidak jelas peruntukannya ditambah lagi adanya imunitas yang
diberikan kepada pelapor melalui pasal 12 C UU Tipikor.
“Keempat
hal tersebut menunjukkan UNCAC di Indonesia belum berjalan maksimal padahal
sudah enam tahun lalu Indonesia sudah meratifikasi UNCAC dan mengadopsinya
dalam UU No 7 Tahun 2006”.
Bagaimana dampaknya terhadap sebuah
kegiatan bisnis ?
Pengaruh
yang paling dominan adalah persaingan yang tidak sehat , dtiambah
kecurangan dengan melakukan korupsi otomatis memberikan dampak pada kegiatan
bisnis yang terhambat bahkan bisa berhenti. Dengan orang melakukan korupsi berarti
dia mengambil sejumlah uang atau asset tertentu yang bahkan bukan milik dia
yang tidak lain mengurangi asset bisnis tersebut. Dengan korupsi yang dilakukan
terus menerus pada kegiatan bisnis ini dalam jangka panjang memerikan ke
bangkrutan.
Akibat – akibat korupsi
adalah :
1. Pemborosan
sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya
keahlian, bantuan yang lenyap.
2. Ketidakstabilan,
revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan
ketimpangan sosial budaya.
3. Pengurangan
kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya
kewibawaan administrasi.
Dengan
demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan Negara dan merusak sendi –
sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945.
Siapa yang bertanggung jawab akan
adanya korupsi di Indonesia ?
Yang
harus bertanggung jawab akan adanya korupsi di Indonesia adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi
menurut pasal 4 adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sedangkan
tugas dan wewenang KPK menurut pasal 6 adalah :
1. Koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3. Melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4. Melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
5. Melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Sebagian
besar publik menyerukan perlunya penerapan sanksi sosial bagi koruptor, meski
dinilai belum tentu efektif. Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar
pemerintah yang tampaknya terus mengalami ganjalan. Di luar soal polemik
institusi, yaitu ”perseteruan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Kepolisian RI, ada pula persoalan sistemis, yakni penanganan dan pemidanaan
pelaku korupsi. Ringannya hukuman bagi koruptor menjadikan publik belum bisa
mengapresiasi sepenuhnya langkah-langkah pemberantasan korupsi oleh pemerintah.
Jadi,
praktik korupsi mengandung moral ekonomi dalam bentuk: (i) keuntungan finansial
bersama,(ii) jaringan patronase yang kuat dan terproteksi, dan (iii)
solidaritas antaranggota jaringan yang kokoh. Kesemuanya ini kemudian dijadikan
modal untuk mengakumulasi kekuasaan dalam rangka merambah dan memperluas
praktik korupsi. Contoh paling nyata adalah megaskandal korupsi Wisma
Atlet dan Hambalang, yang melibatkan aktor-aktor politik pemangku kekuasaan.
SARAN
Berdasarkan
pendapat-pendapat para ahli, strategi pemberantasan korupsi yang dapat
ditawarkan oleh penulis adalah sebagai berikut :
ü Preventif
1. Pencegahan
diri dan keluarga dari tindakan korupsi
2. Keteladanan
Pemimpin
3. Perbaikan
gaji bagi para pejabat dan pegawai negeri
4. Budaya
politik yang transparan
5. Menumbuhkan
rasa memiliki
ü Upaya Pemulihan
1. Penyitaan
seluruh kekayaan koruptor.
2. Penegakan
hukum yang seadil-adilnya.
3. Legalisasi
pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal.
4. Perlu
penayangan wajah koruptor di televisi.
DAFTAR PUSTAKA